Rabu, 17 Desember 2008

Anak yang Baik

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Menjadi anak yang baik itu tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Saya tidak ingin menyebutnya ‘susah’, karena khawatir akan menanamkan sugesti negatif dalam benak para pembaca artikel ini, namun rasanya juga tidak tepat jika mengatakannya sebagai pekerjaan yang gampang. Sampai detik ini pun saya masih meraba-raba bagaimana cara terbaik memposisikan diri sebagai anak.

Birrul walidain’ (berbakti kepada orang tua) adalah bab yang tak mungkin dipisahkan dari agama Islam. Itulah salah satu ajaran fundamental dalam agama Islam (apakah dengan demikian setiap Muslim yang amat berbakti pada orang tua juga layak untuk disebut ‘fundamentalis’?). Ajaran ini ditegaskan oleh Rasulullah saw. berulang kali, dan digarisbawahi pula di dalam Al-Qur’an dalam banyak ayat.

Cukuplah kisah Mush’ab bin Umair ra. sebagai gambaran pentingnya berbakti kepada orang tua. Ketika Mush’ab bin Umair ra. – saat itu adalah pemuda paling parlente, ganteng, cerdas, dan digemari oleh kaum perempuan Mekkah – memutuskan untuk mengikuti ajaran Muhammad saw. dengan resiko melarat, maka tampillah sang ibunda sebagai penentang yang paling gigih. Tidak hanya menentang, ia bahkan tega memenjarakan anaknya sendiri agar ia kembali ke agama nenek moyangnya.

Mush’ab ra. paham betul bahwa berbakti kepada orang tua adalah suatu prinsip yang mesti ditegakkan. Oleh karena itu, beliau tidak membuang imannya, namun juga tidak memberikan perlawanan terhadap ibunya. Beliau membiarkan dirinya dikurung dan menjalankan ibadahnya dengan tenang di dalam kurungan itu.

Suatu hari, ibunya yang sudah lelah memaksanya untuk murtad menemuinya dan mengatakan akan bunuh diri saja jika Mush’ab ra. masih keras kepala. Mush’ab ra. – meski demikian cintanya pada ibunya – menegaskan bahwa jika sang ibunda memiliki seratus nyawa, dan seratus nyawa itu melayang satu per satu, maka ia akan tetap pada keimanannya. Jika ibunya keras kepala, maka anaknya yang satu ini malah lebih keras kepala lagi.

Satu pelajaran penting dapat kita tarik dari kisah Mush’ab ra. dan ibunya. Salah satu masalah terbesar yang dialami seorang anak (dan setiap anak) dalam hubungannya dengan orang tuanya muncul karena ibu-bapaknya adalah juga manusia. Mereka 100% manusia, bukan makhluk yang bersih dari kekurangan. Seorang ayah bukanlah pahlawan serbabisa (meskipun kita mengharapkannya demikian), sementara seorang ibu bukanlah malaikat yang serbalembut (meskipun kita mengharapkannya demikian). Seorang ayah hanyalah seorang lelaki biasa, dan ibu hanyalah perempuan biasa. Mereka memiliki kekurangan, baik kecil dan besar, baik yang sudah mendarah daging atau yang muncul sewaktu-waktu saja akibat khilaf.

Kasus Mush’ab ra. adalah kasus yang amat ekstrem, di mana orang tua (bahkan ibunda, yang semestinya kita hormati tiga kali lebih banyak daripada ayah) memiliki ‘kekurangan’ yang amat parah (yaitu kekafiran), bahkan memaksa anaknya untuk ikut terjerumus dalam kesesatan yang sama. Meski demikian, prinsip berbakti pada orang tua tetap dijunjung tinggi.

Kita (baik yang sudah menjadi orang tua ataupun yang baru berstatus ‘anak’ saja) harus menyadari bahwa menjadi anak yang baik itu cukup rumit, karena keadaannya memang tidak sederhana. Di masyarakat kita berkembang paradigma bahwa anak yang baik itu adalah yang menurut pada orang tua. Kita pun belajar untuk mengikuti segala perintah orang tua demi mendapatkan gelar ‘anak baik’ tersebut.

Akan tetapi, ketika kita bertambah dewasa, setelah kita mampu menilai baik-buruknya segala hal, kita akan menemukan bahwa ternyata orang tua yang sering ‘memerintah’ kita itu ternyata hanya manusia biasa yang sering keliru. Tidak semua perintahnya benar dan pantas untuk dituruti. Salah adalah salah, tidak peduli siapa yang memerintahkannya, termasuk juga orang tua.

Saya ingat pernah melihat seorang anak SD di sebuah angkot yang mengalami dilema akibat perbuatan ibunya. Anak itu baru saja menandaskan minumannya dari sebuah kantung plastik, dan ia bertanya pada ibunya kemana ia harus membuang sampahnya. Ia cemberut ketika ibunya menyuruhnya untuk membuang saja sampahnya ke bawah jok angkot. Ia menggeleng dan meremas plastik tadi, dan terus saja menyimpannya di dalam tangannya yang kecil. Ia tahu bahwa perintah ibunya tadi salah. Barangkali gurunya di sekolah telah berhasil mendoktrinnya untuk membuang sampah pada tempatnya. Bagaimana pun, saya bisa melihat dengan jelas betapa hatinya tidak nyaman melihat kenyataan bahwa ibunya telah menganjurkannya untuk membuang sampah sembarangan. Terjadi konflik nilai dalam batinnya. Sekolah mengajarinya begini (dan ia sudah cukup cerdas untuk menyadari bahwa ajaran itu benar), namun ibunya mengajarinya begitu. Ini hanyalah sebuah contoh sederhana dari dilema yang dihadapi seorang anak ketika mengetahui kenyataan bahwa orang tuanya memiliki banyak kelemahan.

Tapi itulah kenyataannya. Kadang-kadang menjadi anak itu menyakitkan. Kita semua pernah mengalaminya, dan sudah pasti memahaminya. Sayang, banyak yang melupakan pengalaman masa kecilnya begitu saja ketika dirinya sudah menjadi orang tua. Begitu banyak orang yang mengulangi kesalahan orang tuanya sendiri. Ia tidak suka dengan suatu perlakuan orang tuanya, namun ia melakukan hal yang sama pada anaknya sendiri.

Kita tahu bahwa semua orang tua (yang normal) tidak menginginkan keburukan apa pun pada anak-anaknya. Mereka hanya khilaf ketika berbuat salah pada anak. Sayangnya, anak-anaknya itu kadang kurang mampu memahami bahwa orang tuanya hanyalah manusia yang tidak bersih dari kesalahan, namun mereka cukup mampu untuk merasakan sakit.

Banyak sekali contoh 'kesalahan' orang tua. Ada orang tua yang melarang putrinya berjilbab. Ada yang melarang anaknya aktif dalam dakwah. Ada yang memaksa anak-anaknya untuk terus berjibaku dengan pelajaran sekolah dan mengabaikan yang lain. Ada yang menjodohkan anaknya dengan orang yang tidak disukainya. Ada yang memaksa anaknya mengambil jurusan tertentu di perguruan tinggi. Inilah kenyataannya. Orang tua pun bisa, dan pasti pernah, berbuat salah.

Seorang teman pernah bertanya pada saya, “Mengapa ajaran agama hanya menyuruh kita untuk berbuat baik pada orang tua, seolah-olah mereka selalu benar?” Ia kemudian menyitir ayat :

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(Q.S. Luqman [31] : 14)

Ibunda telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. Kedua orang tua sudah mengorbankan banyak hal demi anak-anaknya. Lalu bagaimana jika kedua orang tua berbuat salah? Ya, justru itulah! Ayat di atas tidak menutup kemungkinan tersebut. Jika orang tua berbuat salah (dan pasti berbuat salah), maka anaknya pun mesti berusaha keras memberi maaf. Ya, tentu saja mereka banyak kekurangan, tapi bukankah pengorbanannya juga banyak?

Anak yang baik harus sering-sering memaafkan orang tuanya.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

Sumber : akmal.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar